Oleh:
TOTO SUHARYA
Jarang sekali diungkapkan dalam sejarah, bahwa Rasulullah pernah menawarkan para tawanan kaum Quraisy yang pandai tulis-baca dengan menebus dirinya dengan mengajarkan tulis baca kepada 10 orang anak Madinah. Rasulullah ternyata telah memahami begitu pentingnya membaca dan menulis, sebagaimana diperintahkan Tuhan dalam kata wahyu pertama turun, iqra! Untuk itu, saatnya kita kembangkan sekolah berbudaya literasi.
TOTO SUHARYA
Jarang sekali diungkapkan dalam sejarah, bahwa Rasulullah pernah menawarkan para tawanan kaum Quraisy yang pandai tulis-baca dengan menebus dirinya dengan mengajarkan tulis baca kepada 10 orang anak Madinah. Rasulullah ternyata telah memahami begitu pentingnya membaca dan menulis, sebagaimana diperintahkan Tuhan dalam kata wahyu pertama turun, iqra! Untuk itu, saatnya kita kembangkan sekolah berbudaya literasi.
Namun
dari hasil penelitian Taufik Ismail, di zaman yang modern ini, 90% siswa
Indonesia hanya mengandalkan hidupnya dengan melihat dan mendengar saja. Dalam
sejarah masyarakat yang hidup dari melihat dan mendengar tergolong pada
masyarakat pra sejarah. Alat semakin modern tapi tanpa kebiasaan membaca maka
berarti kita masih primitif.
Pendidikan
zaman sekarang tidak jauh lebih bagus dari zaman Belanda. Dalam sebuah
pelatihan kurikulum, instruktur menyampaikan data bahwa siswa Algemene
Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) Yogya wajib baca 25 buku sastra
dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA
Wanne-Eickel (Jerman Barat) hari ini.
Superioritas
AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu
Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 KARANGAN
SEMINGGU. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan 1
halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk
universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan
lancar.
Fakta-fakta
mengungkap bahwa kita harus melakukan loncatan dalam hal budaya literasi. Anak
Indonesia dibadingkan dengan Kanada, Amerika Serikat dan Australia, dalam satu
hari menghabiskan waktu 300 menit per hari untuk nonton. Sementara ketiga
negara maju tersebut anak-anaknya rata-rata hanya menghabiskan 100 menit per
hari.
Dugaan
berdasarkan fakta di atas semakin kuat lagi tatkala Program for International Students Assessment (PISA) 2000,
membeberkan hasil risetnya bahwa dari 41 negara di dunia, prestasi literasi
anak-anak Indonesia berada pada posisi ke 3 dari belakang. Juga diungkap bahwa
skor membaca dari tahun 2000 sampai tahun 2012, dari 65 negara di dunia, kita
berada di peringkat ke 2 dari belakang.
Jika
kita perhatikan negara-negara yang hidupnya sejahtera di dunia, ternyata
memiliki korelasi positif dengan budaya literasi tinggi. Hal ini bisa jadi
sebuah kemutlakkan dalam kehidupan dunia bahwa semakin tinggi literasi sebuah
bangsa, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Finlandia, Kanada,
Selandia Baru, Inggris, dan Jepang adalah negara-negara maju yang menduduki 10
besar sebagai bangsa dengan budaya literasi tinggi.
Dari
data-data di atas, sebagai negara dengan mayoritas muslim, kita haruslah paham
mengapa Tuhan memerintahkan kita semua untuk membaca. Jawabannya karena Tuhan
menginginkan manusia hidup sejahtera di dunia dan akhirat.
Jika
dibandingkan dengan kapal karam, badan kapal kita ssetengah badan sudah ada di
bawah air. Jika tidak diselamatkan maka sebentar lagi akan tenggelam. Cita-cita
Indonesia emas pada 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, akan sia-sia jika
budaya literasi kita tidak digarap serius.
Langkah
kementerian pendidikan mengeluarkan permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang
penumbuhan budi pekerti dan budaya literasi di sekolah, sangatlah tepat.
Tinggal sekolah melalui dari kepala sekolah, guru-guru, dan orang tua,
mendukung program penumbuhan budaya
literasi ke dalam seluruh aktivitas pendidikan dengan menyediakan sarana dan
prasarananya.
Mulai
dari gerakan membaca buku pengayaan 15 menit sebelum belajar, membaca koran,
resensi 25 buku per tahun, mengakses situs pendidikan di internet, semua media
literasi harus dibudayakan. Sekalipun teknologi informasi sudah banyak
menyajikan jutaan informasi, tidak berarti media cetak seperti buku dan koran
ditinggalkan, biarkan semua hidup sebagai alternatif dalam menumbuhkan budaya
literasi. Wallahu ‘alam.