Saturday, February 16, 2019

HUBUNGAN SHALAT DENGAN KECERDASAN

OLEH: TOTO SUHARYA

Ketika mengajukan sebuah ide penelitian kepada seorang doktor matematika, tentang hubungan antara shalat dhuha dengan Kecerdasan Intelektual siswa, “Beliau menjawab, jangan meneliti hal-hal yang berbau klenik”. Lalu beliau menjelaskan sebuah silogisme, “di hulu terjadi hujan lebat, maka di hilir terjadi banjir. Oleh karena banjir, sekolah menjadi tergenang dan pembelajaran terganggu. Akibatnya prestasi akademik siswa menurun. Kesimpulannya, perubahan cuaca di hulu mempengaruhi prestasi akademik siswa”.

Artinya dengan contoh silogisme di atas, Beliau ingin mengatakan bahwa menghubungkan shalat dhuha dengan prestasi akademik, seperti menghubugkan antara perubahan cuaca dengan prestasi siswa. Untuk itulah, shalat dhuha dihubungkan dengan prestasi akademik dianggap sebagai logika klenik.

Klenik menurut kamus bahasa Indonesia versi daring, adalah sebuah aktivitas perdukunan, berkonotasi negatif. JIka shalat dhuha dihubungkan dengan prestasi akademik sebagai klenik, apakah ini termasuk logika seorang dukun? JIka demikian praktek perdukunan ada di sekolah-sekolah.

Saya menemukan pola logika dukun, ilmuwan rasional empiris, dengan orang beriman berbeda. Dukun berlogika dengan rasio, empiris, dan alam ghaib tanpa panduan, ilmuwan berpatokan pada rasio dan empiris, orang beriman menggunakan rasio, empiris, dan berpatokan pada Al-Qur’an. Seorang doktor, menganggap hubungan shalat dhuha dengan kecerdasan sebagai klenik, hal ini dapat dimengerti karena patokannya adalah kebenaran rasio dan empiris.


Fakta di lapangan, sejak dimasukkan kompetensi spiritual ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, hampir setiap sekolah memasukkan kegiatan keagamaan ke dalam intrakurikuler. Berbagai kegiatan tersebut antara lain, merutinkan kegiatan shalat dhuha, shalat  berjamaah, menghafal Al-Qur’an, asmaul husna, dan lain sebagainya. Jika tidak pernah diteliti, apa sebenarnya tujuan dari kegiatan spiritual ini semua?

Klenik adalah logika buatan manusia, seperti dukun menghubungkan ritual tertentu dengan jabatan. Dukun tidak punya kitab suci. Logika dukun murni berdasarkan pengalaman dan kekuatan alam.

Para ilmuwan sekular menggunakan pengamatan, penelitian alam sebagai dasar pengetahuan berlogika. Logika ilmuwan dan dukun sama, menggunakan rasio dan alam sebagai dasar pembenaran logika. Ilmuwan dan dukun sama-sama membenarkan sesuatu berdasarkan bukti. Ilmuwan bisa membuktikan, dukun juga bisa membuktikan. Jadi ilmuwan dan dukun sama-sama mempratekkan logika klenik (logika buatan manusia).

Ajaran agama bukan klenik karena selain logis, bisa dibuktikan kebenarannya, dan memiliki panduan bukan bersumber dari alam, tetapi dari Tuhan Pemilik Semesta Alam. Melakukan penelitian tentang hubungan antara ajaran agama dengan kehidupan, sama dengan meningkatkan kecerdasan, menemukan ilmu, teknologi, dan keimanan dengan mengetahui kebenaran dari Tuhan.

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) SHALAT, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan AKAL”. (Al Maidah, 5:58).

Berdasarkan metode hubungan konsep antara kata dengan kata, dalam ayat di atas, SHALAT dan AKAL memiliki hubungan dekat. Kedekatan itu terlihat bahwa kata shalat dan akal muncul dalam redaksi satu ayat. Penulis punya asumsi bahwa shalat berhubungan dengan kecerdasan. Asumsi ini berdasarkan pada fakta bahwa anak-anak yang rutin melakukan shalat memiliki kecerdasan intelektual berbeda dengan yang malas shalat.

Orang-orang yang menyepelekan hubungan shalat dengan kecerdasan, menganggap klenik, sesungguhnya mereka belum memiliki kecerdasan akal. Berdasar ayat di atas bisa terjadi hubungan sebab akibat, “jika shalat maka berakal (cerdas), jika tidak shalat maka tidak berakal (tidak cerdas)”.  Untuk membuktikannya maka harus dilakukan penelitian, apakah kegiatan dhuha tiap hari memiliki hubungan dengan kecerdasan siswa? Wallahu ‘alam.

(Kepala Sekolah)

No comments:

Post a Comment

MENGAPA GURU HARUS TERHORMAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Untuk menghormati guru, di Jepang tidak ada hari guru. Kisah ini dibagikan oleh Pak Susila dari Banten ...