OLEH: TOTO SUHARYA
Ketika
mengajukan sebuah ide penelitian kepada seorang doktor matematika, tentang
hubungan antara shalat dhuha dengan Kecerdasan Intelektual siswa, “Beliau
menjawab, jangan meneliti hal-hal yang berbau klenik”. Lalu beliau menjelaskan
sebuah silogisme, “di hulu terjadi hujan lebat, maka di hilir terjadi banjir.
Oleh karena banjir, sekolah menjadi tergenang dan pembelajaran terganggu. Akibatnya
prestasi akademik siswa menurun. Kesimpulannya, perubahan cuaca di hulu
mempengaruhi prestasi akademik siswa”.
Artinya
dengan contoh silogisme di atas, Beliau ingin mengatakan bahwa menghubungkan
shalat dhuha dengan prestasi akademik, seperti menghubugkan antara perubahan cuaca
dengan prestasi siswa. Untuk itulah, shalat dhuha dihubungkan dengan prestasi
akademik dianggap sebagai logika klenik.
Klenik
menurut kamus bahasa Indonesia versi daring, adalah sebuah aktivitas
perdukunan, berkonotasi negatif. JIka shalat dhuha dihubungkan dengan prestasi
akademik sebagai klenik, apakah ini termasuk logika seorang dukun? JIka
demikian praktek perdukunan ada di sekolah-sekolah.
Saya
menemukan pola logika dukun, ilmuwan rasional empiris, dengan orang beriman
berbeda. Dukun berlogika dengan rasio, empiris, dan alam ghaib tanpa panduan,
ilmuwan berpatokan pada rasio dan empiris, orang beriman menggunakan rasio,
empiris, dan berpatokan pada Al-Qur’an. Seorang doktor, menganggap hubungan
shalat dhuha dengan kecerdasan sebagai klenik, hal ini dapat dimengerti karena
patokannya adalah kebenaran rasio dan empiris.
Fakta
di lapangan, sejak dimasukkan kompetensi spiritual ke dalam kurikulum
pembelajaran di sekolah, hampir setiap sekolah memasukkan kegiatan keagamaan ke
dalam intrakurikuler. Berbagai kegiatan tersebut antara lain, merutinkan
kegiatan shalat dhuha, shalat berjamaah,
menghafal Al-Qur’an, asmaul husna, dan lain sebagainya. Jika tidak pernah
diteliti, apa sebenarnya tujuan dari kegiatan spiritual ini semua?
Klenik
adalah logika buatan manusia, seperti dukun menghubungkan ritual tertentu
dengan jabatan. Dukun tidak punya kitab suci. Logika dukun murni berdasarkan
pengalaman dan kekuatan alam.
Para
ilmuwan sekular menggunakan pengamatan, penelitian alam sebagai dasar
pengetahuan berlogika. Logika ilmuwan dan dukun sama, menggunakan rasio dan alam
sebagai dasar pembenaran logika. Ilmuwan dan dukun sama-sama membenarkan
sesuatu berdasarkan bukti. Ilmuwan bisa membuktikan, dukun juga bisa
membuktikan. Jadi ilmuwan dan dukun sama-sama mempratekkan logika klenik
(logika buatan manusia).
Ajaran
agama bukan klenik karena selain logis, bisa dibuktikan kebenarannya, dan memiliki
panduan bukan bersumber dari alam, tetapi dari Tuhan Pemilik Semesta Alam.
Melakukan penelitian tentang hubungan antara ajaran agama dengan kehidupan, sama
dengan meningkatkan kecerdasan, menemukan ilmu, teknologi, dan keimanan dengan
mengetahui kebenaran dari Tuhan.
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk
(mengerjakan) SHALAT, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka
benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan AKAL”. (Al Maidah, 5:58).
Berdasarkan
metode hubungan konsep antara kata dengan kata, dalam ayat di atas, SHALAT dan AKAL
memiliki hubungan dekat. Kedekatan itu terlihat bahwa kata shalat dan akal muncul
dalam redaksi satu ayat. Penulis punya asumsi bahwa shalat berhubungan dengan
kecerdasan. Asumsi ini berdasarkan pada fakta bahwa anak-anak yang rutin
melakukan shalat memiliki kecerdasan intelektual berbeda dengan yang malas
shalat.
Orang-orang
yang menyepelekan hubungan shalat dengan kecerdasan, menganggap klenik,
sesungguhnya mereka belum memiliki kecerdasan akal. Berdasar ayat di atas bisa
terjadi hubungan sebab akibat, “jika shalat maka berakal (cerdas), jika tidak
shalat maka tidak berakal (tidak cerdas)”.
Untuk membuktikannya maka harus dilakukan penelitian, apakah kegiatan
dhuha tiap hari memiliki hubungan dengan kecerdasan siswa? Wallahu ‘alam.
(Kepala Sekolah)
No comments:
Post a Comment