Oleh: TOTO SUHARYA
Ketika
para orang tua, sangat bernafsu ingin mempidanakan guru, seharusnya dunia
menangis mendengarnya. Sangat menyayat hati ketika guru dipidanakan gara-gara menegur
anak tidak melaksanakan tugasnya. Bukan
kah itu tugasnya?
Guru-guru
yang melakukan “kekerasan” dalam pendidikan tidak dapat langsung dipidanakan. Kekerasan
dalam pendidikan tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai bentuk
penganiayaan. Ruhnya, apa pun yang terjadi dalam pendidikan tidak lepas dari
tujuan pendidikan.
Ketika
guru melakukan pemukulan, kasus ini berbeda dengan pemukulan yang dilakukan
oleh anak dalam tawuran, pemukulan oleh orang tua siswa terhadap guru,
pemukulan oleh preman terhadap warga. Hal yang membedakan “pukulan” guru
terhadap anak adalah niatnya pendidikan. Ketika siswa memukul siswa, orang tua memukul
guru, tindakan mereka tidak diatur secara sadar dengan tujuan pendidikan.
“Kekerasan”
dengan niat pendidikan tidak bertujuan membinasakan, sedangkan kekerasan diluar
pendidikan tujuannya membinasakan. Sekalipun dalam pendidikan, kekerasan tidak
dibenarkan, tetapi dalam kondisi tertentu kita harus memahami, bahwa ajaran
agama pun memberi sedikit peluang untuk “keras” demi pendidikan.
Maka
dari itu, guru-guru yang melakukan “kekerasan” beliau tidak dapat langsung dipidanakan
karena apa yang dia lakukan ada di ranah pendidikan. Sekalipun ada kekerasan
yang dinilai diluar kewajaran pastilah tindakan itu sebagai bentuk kekhilafan
atau keterpaksaan karena keadaan.
Kita
seharusnya takut, ketika para orang tua memidanakan guru dengan sangkaan
melakukan kekerasan, maka jangan-jangan pendidikan tentang kegigihan dalam
menghadapi masalah, akan hilang dari sekolah. Menurut Stoltz pelajaran
kegigihan atau Adversity Quotient, adalah kecerdasan berupa kegigihan untuk
mengatasi segala rintangan demi mendaki tangga kesempurnaan yang diinginkan,
yang harus dimiliki setiap manusia.
“Hidup
ini seperti mendaki gunung”, demikian kata Stoltz. Kami khawatir, upaya orang
tua memidanakan guru hanya karena mencubit, akan jadi ajaran hidup lembek,
lemah, dan mendidik mereka menjadi generasi quiters,
yaitu generasi yang mudah menyerah sebelum menghadapi tantangan hidup.
Tidak
ada agama yang mengajarkan umatnya menjadi quitter.
Semua agama mengajarkan umatnya menjadi climbers.
Itulah inti dari pendidikan. Contoh, Islam adalah salah satu agama mengajarkan
kepada umatnya untuk menjadi manusia-manusia climber.
Tuhan
telah bersumpah atas diri-Nya, bahwa “manusia diciptakan diharuskan menempuh
susah payah”. (Al-balad ayat 4). Dalam sebuah tafsir resmi yang dikeluarkan
Kemenag dijelaskan, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah sebagaimana
dialami oleh nenek moyang mereka, Adam dan Hawa di surga karena semuanya
tersedia. Manusia harus berusaha, berjuang mencari rezeki, mengatasi berbagai
rintangan, dan sebagainya.
Berdasarkan
perjuangan itulah, Tuhan menilai manusia, semakin besar perjuangan, kegigihan,
ketahanan terhadap derita yang dialami manusia, semakin besar manfaat yang dihasilkannya,
dan semakin tinggi nilai manusia itu dalam pandangan Tuhan.
Begitu
pula Nabi Muhammad di kota Mekah, Beliau berjuang agar kebenaran menjadi nyata
dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh umat manusia. Jika manusia
diharuskan menempuh susah payah oleh Tuhan, maka ini artinya ada kemampuan yang
harus dimiliki manusia. Kemampuan itu seperti yang dikemukakan oleh Stolzt
yaitu berupa kegigihan, kesabaran, dalam menghadapi rintangan.
Selanjutnya,
C. Ramli Bihar Anwar menjelaskan manusia bukan hanya harus memiliki kegigihan
dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, tetapi kegigihan yang menjadikan
Tuhan sebagai sumber kekuatan. Untuk itu manusia harus mempunyai Adversity Spiritual Quaotient, kegigihan
atas dasar keyakinan terhadap pertoongan Tuhan.
Para
hali psikologi menyimpulkan unsur keyakinan memiliki peran penting dalam
menumbuhkan kegigihan seseorang. Hasil penelitian Albert Ellis, faktor penentu
keberhasilan seseorang 90 persen adalah keyakinannya dan 10 persen lingkungan.
Keyakinan yang akan membuat seseorang gigih dalam mewujudkan impiannya adalah
keyakinan bahwa Tuhan maha penolong, pemurah, dan mampu mewujudkan segala
impian manusia.
Untuk
itulah tugas para pendidik mencetak generasi-generasi yang punya kegigihan, daya
tahan terhadap penderitaan, dalam mewujudkan impiannya. Jika dicubit saja lapor
polisi, siapa yang akan jadi pewaris bangsa sebesar ini? Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment