Oleh: Toto Suharya
Ditengah-tengah
wabah Virus Corona tahun 2020, ternyata dunia pendidikan mendapat kesempatan
untuk melakukan perubahan. Pembelajaran online dan dihapuskannya UN dari sistem
pendidikan. Ujian Nasional itu sudah usang dan jauh dari harapan pendidikan
abad industri 4.0. Corona telah memaksa UN dihapuskan yang bertahun-tahun tidak
menghasilkan apa-apa bagi dunia pendidikan, kecuali gengsi dan anggaran.
Tulisan ini saya buat
untuk bahan rekomendasi Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) kepada
Presiden Republik Indonesia melalui Bapak Menteri Pendidikan. Mudah-mudahan
tulisan ini menjadi bahan pertimbangan yang bisa meyakinan bahwa rendana DPR
dan Mendikbud menghapus UN adalah langkah benar.
Menyimak hasil
rapat daring Mendikbud dengan Komisi X DPR RI yang diposting di media sosial,
bahwa berangkat dari kekhawatiran penyeberan COVID-19 pada saat pelaksanaan UN
tahun ini, kemudian rapat mengarah kepada penghapusan UN dalam sistem
pendidikan nasional di Indonesia. Menyikapi hasil rapat di atas, DPP AKSI
memberikan rekomendasi bahwa penghapusan UN dalam sistem pendidikan nasional
dinilai sebagai langkah tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
meningkatkan daya saing lulusan pendidikan kita di tingkat internasional.
Rekomendasi tersebut didukung oleh lima argument ilmiah yang penulis jelaskan
di bawah.
Pertama, David
McClelland (dalam Stanley, 2015, hlm. 84-85) menjelaskan bahwa para peneliti
mengalami kesulitan menunjukkan bahwa nilai ujian di sekolah punya kaitan
dengan prilaku lain yang penting, selain uji kecakapan. Masyarakat umum dan
banyak psikolog serta pejabat kampus menerima fakta bahwa nilai ujian hanya
dapat meramalkan prestasi anak di sekolah, tetapi tidak meramalkan sukses dalam
prilaku dan prestasi lainnya. Murid dengan indek kumulatif prestasi yang lebih
rendah dari hasil penelitian, kehidupan ekonomi mereka sama baik dengan murid
yang memiliki nilai prestasi sangat baik.
Kondisi ini menandakan bahwa UN yang diagendakan sebagai kegiatan
berbiaya besar tidak menghasilkan prestasi apa-apa kecuali prestasi anak di
sekolah.
Kedua, era
industri 4.0 ditandai dengan abad entrepreneur. Dari 733 entrepreneur
(miliarder) yang disurvey untuk merespon 30 faktor kesuksesan, respon dengan
rengking tertinggi mengarah kepada kepemilikan tentang kecerdasan sosial,
kreativitas, kepemimpinan, dan guru (mentor) yang baik, sementara kecerdasan intelektual
berada pada urutan ke-21. (Stanley, 2015, hlm. 48). Hasil penelitian ini
memberikan pemahaman bahwa UN yang menguji kecerdasan intelektual sudah
ketinggala zaman.
Ketiga, eksistensi
masyarakat jejaring. Menurut pandangan folosofi strukturalisme sebuah unsur
(individu) hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan (inter connectedness) antar unsur
(manusia) lain. (Kuntowijoyo, 2007, hlm. 32). Pengembangan kompetensi manusia
tidak lagi bersifat parsial terpusat, tetapi harus menyeluruh berdasarkan potensi
dominan dari sembilan kecerdasan yang dimiliki anak-anak. Untuk itu UN tidak
lagi mencerminkan pendidikan yang berpusat pada potensi anak, tapi bersifat
penyamarataan yang merugikan potensi-potensi perkembangan psikologi anak, yang
menurut Howard Gardner ada sembilan kecerdasan yaitu, logis, linguistik,
spasial, musikal, kinestetik, naturalis, intrapersonal, interpersonal,
eksistensial atau spiritual. (Baihaqi, 2014, hlm. 164).
Empat, piramida kebutuhan
terbalik. Manusia-manusia yang dibutuhkan abad industri 4.0 bukan mereka yang
bisa menjawab ujian dengan baik, tapi mereka yang bisa menyelesaikan
masalah-masalah sosial dan lingkungan yang ada di masyarakat. Kebutuhan dasar
manusia bukan pada makan, minum, kemananan, dan kenyamanan, melaikan pada sejauhmana
dia bisa beraktualisasi, bermanfaat bagi lingkungan dan kemudian dihargai.
Manusia ini oleh Victor Frankl disebut sebagai Man’s Search for Meaning.
(Marshal & Johar, 2007, hlm. 47). Pelaksanaan UN tidak memberikan makna (value
added) apa-apa bagi anak-anak dan lingkungannnya.
Lima, paradigma sistem.
Berdasar penemuan fisika kuantum, manusia (benda) bukan bagian terpisah dari
sistem alam. Keberadaan manusia bisa dipahami sebagai interkoneksi atau saling
keterhubungan antar aneka proses observasi atau pengukuran. (Capra, 2002, hlm
49). Pengukuran melalui UN yang parsial dapat mendominasi seluruh pengukuran
kecerdasan anak-anak sehingga dapat mengkerdilkan potensi anak-anak yang
lainnya.
Demikian
rekomendasi terhadap rencana pemerintah menghapus UN dalam sistem pendidikan
nasional. AKSI selanjutkan mengusulkan untuk memperkuat kelembagaan sekolah
dengan meningkatkan layanan proses pendidikan, dan menata distribusi kualitas
guru serta kepala sekolah. AKSI berkomitmen untuk menjadi penggerak menjaga dan
mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan guna menyambut Indonesia Emas tahun 2045 serta mencetak
lulusan berdaya guna ditingkat global dan selalu menjaga keutuhan NKRI.
Semoga Allah Swt. Tuhan Yang
Maha Esa memberi kemudahan dan kelancaran kepada kita semua. AKSI luar biasa!
SDM Unggul! Indonesia maju! Walalhu ‘alam.
No comments:
Post a Comment