Oleh: Toto Suharya
(Kepala Sekolah SMAN 1 CIpeundeuy Bandung Barat/Sekretaris DPP AKSI I)
(Kepala Sekolah SMAN 1 CIpeundeuy Bandung Barat/Sekretaris DPP AKSI I)
Tulisan ini telah dimuat
di beritadisdik.com. “Saya tidak pernah kalah berdebat kecuali dengan orang
bodoh”. Selama Pak Charismiadji mewakili orang cerdas, saya pasti selalu punya
argumen selanjutnya untuk mendebat. Jadi saya ingin sekali berdebat dengan Pak
Charismiadi. Namun jika berdebat dengan orang bodoh, otak saya tidak sanggup
menghadapinya karena perdebatan akan berjalan seperti tukang gali sumur semakin
lama menggali semakin dalam hingga tidak sadar sudah berada di dalam sumur yang
jauh dari realitas sosial.
Pernyataan-pernyataan Pak
Charismiadji yang tendensius ditangkap bukan hendak memperbaiki kulaitas guru.
Berpikir kritis bukan dengan mengutif pendapat orang atau karena mendapat
laporan kasuistis dari beberapa orang. Jika dia pengamat pendidikan hendaknya
melaporkan apa yang dia temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebagaimana
dikatakan Prof. Cecep Darmawan banyak faktor yang memengaruhi kinerja guru.
Jika selama ini digadang-gadang pemerintah telah memberikan kesejahteraan
kepada guru, memang benar itu terjadi. Tetapi dari tiga juta lebih guru yang
ada tanpa membedakan ASN dan non ASN berapa yang sudah disejahterakan oleh
pemerintah.
Selain itu faktor-faktor
yang menyebabkan guru tidak berkualitas adalah Pengamat pendidikan yang tidak
berkualitas. Pengamat yang seperti tukang kompor atau minyak wangi.
Gembar-gembor supaya rame, semprot sana semprot sini supaya wangi. Saya angkat
topi untuk Prof Rhenald Kasali, saya sering dengar dia mengkritik kampus, guru,
tetapi dia berikan solusinya dengan membuat Rumah Perubahan. Saya tidak pernah merasa direndahkan
sedikitpun oleh kritikan pedas Prof. Rhenald Kasali, karena saya tahu dia
sendiri menjadi pelaku pendidikan dan mengajak kepada semua melakukan perubahan.
Saya baca buku beliau bagaimana melakukan perubahan dalam pendidikan dengan
pembelajaran out the box menyuruh mahasiswa pergi ke luar negeri
berdasarkan keputusan pribadi tanpa campur tangan orang tua, kemudian
menuliskan hasil pengalaman seluruh mahasiswanya menjadi buku.
Menurut saya selama
berada di Indonesia tidak pernah ada kebijakan yang memuaskan. Setiap kebijakan
selalu menonjol di kiri mengempis di kanan. Orang selalu akan menemukan banyak
kelemahan dari setiap kebijakan. Demikian juga dari sebagian guru yang sudah
disejahterakan selalu ada yang belum optimal bekerja, dan itu berapa persen?
Bukan dengan beropini di media masa dengan fakta kasuistis, lakukan sendiri
penelitian jangan mengutif pendapat orang lain. Pengamat harus punya data
penelitian sendiri, agar semua pernyataannya bisa dipertanggung jawabkan,
bahkan diseminarkan bersama organisasi profesi guru, kepala sekolah dan para
pemegang kebijakan.
Kalau tahu
sepotong-spotong tentang dunia pendidikan jangan dulu menjual diri jadi pengamat.
Sudah berapa ribu guru yang diajak diskusi, sudah berapa ribu sekolah yang
diamati, sudah berapa kepala sekolah yang diajak berdialog? Apakah sudah pernah
home visit ke rumah-rumah guru di pinggiran kota, pedesaan, di daerah
perbatasan? Tong sangenahna. Masih banyak guru yang hidup di bawah garis
kemiskinan bahkan dibawahnya lagi. Ketika saya diberi kesempatan bertemu dengan
guru-guru PAUD, miris sekali honor mereka 50-250 ribu per bulan, dan ada yang
sudah berjalan belasan tahun.
Hemat saya bicara tentang
kualitas guru, masalahnya tidak selesai di pribadi atau profesi guru itu
sendiri. Coba liat siapa yang produksi guru. Siapa yang ciptakan regulasi
tentang guru. Bagaimana organisasi profesi guru? Lalu bagaimana kebijakan
lembaga-lembaga yang kelola guru. Lalu siapa selama ini yang jadi guru? Kalau
guru di Finlandia layak menurut saya untuk di kritik pedas, karena mereka lahir
dari lembaga pendidikan terbaik, hasil regulasi dan para pembuat regulasi yang
baik. Di indonesia mah, nu borok ngarorojok nu borok, jadi boroknya tidak
sembuh-sembuh. Jadi, harus banyak mengungkap kebaikan agar jadi opini dan pola
pikir masyarakat menjadi baik untuk memperbaiki keburukan.
Kata teman sejawat,
apa yang dikatakan Charismiadji, ada benarnya 50%, ada salahnya 50%. Data penelitian
dari mana? Katanya, “tidak usah sewot, jadikan saja sebagai pelajaran untuk
kita guru-guru semua”. Pelajaran saya dapatkan langsung dari guru-guru, siswa,
orang tua, serta mereka yang peduli dunia pendidikan, tidak dari pengamat yang
teriak-teriak menggunakan corong media. Baiknya kita buktikan saja suruh
pengamat itu terjun ke lapangan, berdebat, dan harus mengalami langsung apa
yang terjadi sehari-hari dalam dunia pendidikan. Biar sudut pandangnya jadi
holistik dan tahu dimana akar permasahalan dunia pendidikan kita. Selanjutnya, “soal
ketertinggalan pendidikan Indonesia, itu PR besar Mas Menteri”. Seribu persen
saya tidak percaya pada satu orang menteri bisa menyelesaikan masalah
pendidikan Indonesia. Kalau tidak ada guru apa artinya menteri? Kecuali, setiap
orang mau jadi sebagaimana seorang menteri berpikir dan mau menyelesaikan
masalah di dunia pendidikan. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment