Oleh: Toto Suharya
(Kepala SMAN 1 Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat)
(Kepala SMAN 1 Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat)
Ruh
dasar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah pemerataan kualitas
pendidikan dengan menghilangkan mitos sekolah-sekolah favorit yang jumlahnya
terbatas. Setiap tahun jumlah sekolah favorit tidak pernah berubah dan
melegenda menjadi cerita rakyat. Mitos-mitos disebarluaskan melalui obrolan
sehari menjelang PPDB. Dalam mitos diceritakan seolah-olah lulusan-lulusan sekolah
favorit kelak akan jadi manusia digdaya mengendalikan dunia. Untuk lebih
meyakinkan mitos, dibumbui fakta kasuistis beberapa lulusan sekolah favorit
yang sukses dan berkuasa.
Mitos
berubah menjadi keyakinan masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya
menjelang PPDB. Masyarakat dengan keyakinan sekolah favorit dapat mengubah
hidup anak menjadi sejahtera, membabi buta berusaha sekuat tenaga, berbagai
macam cara, pokoknya masuk sekolah favorit. Mereka telah berubah menjadi penyembah
berhala bernama sekolah favorit. Bagi mereka sekolah favorit seperti Tuhan yang
dapat menyelamatkan kehidupan manusia.
Mitos
sekolah favorit bertahan berpuluh-puluh tahun. Sekolah terbelah menjadi dua jadi
sekolah pintar dan sekolah bodoh. Selama puluhan tahun, kepala sekolah,
guru-guru, anak-anak yang berada di sekolah bodoh, terpaksa menerima dianggap sekolah
bodoh. Sekolah pintar diisi anak-anak dari golongan ekonomi atas dan sekolah
bodoh diisi golongan ekonomi bawah. Prestasi-prestasi terbaik dianggap selalu
lahir dari sekolah-sekolah pintar dan sekolah bodoh sudah dimaklumi memiliki nol
prestasi.
Untuk
menjaga mitos sekolah favorit gelaran acara-acara hedonis dengan mengundang
artis dan mengeluarkan ratusan juta dipertunjukkan. Dihadiri para petinggi para
penguasa, seolah-olah mengukuhkan bahwa sekolah favorit adalah yang sering
dihadiri penguasa. Anak-anak yang lahir dari sekolah favorit seolah seperti
dewa yang akan mengendalikan dunia. Sekolah bodoh yang ada dipinggir sungai,
kali, sawah, tempat sampah, tidak menarik untuk dikunjungi apa lagi
dibanggakan. Cerita ini terjadi dulu ketika manusia masih berpikir dengan kaca
mata kuda.
Bau
busuk itu kini sudah tercium oleh orang-orang yang diberi wangsit oleh Tuhan
dalam dunia pendidikan. Sikap diskriminatif terhadap anak-anak manusia dengan
membedakan sekolah pintar dan bodoh telah merugikan negara. Ratusna triliunan
digelontorkan hanya untuk melahirkan anak bodoh dan pintar. Ini harus segera
diakhiri. Obatnya adalah diberlakukan PPDB zonasi, masuk sekolah tidak lagi diukur
melalui prestasi akademik dan non akademik tetapi dengan jarak dari rumah ke
sekolah. Para pemuja sekolah favorit masih bereaksi menolak kebijakan PPDB
zonasi, lalu memecah-mecah persyaratan masuk sekolah menjadi rumit dengan
aturan prosentase seperti koperasi saat bagi hasil usaha.
Tibalalah
masa pemberlakuan bantuan operasional pemerintah daerah yang terpaksa memandang
semua kelas ekonomi masyarakat sama. Terpaksa kelas atas harus turun kasta dan
kelas bawah pasti naik kasta. Maka yang merasa dirugikan adalah kelas atas,
karena biaya pendidikan yang tinggi menjadi tidak tertutupi. Ternyata sekolah
favorit yang selama ini dimitoskan harus didukung oleh anggaran tinggi.
Anggaran ini digunakan untuk membiaya program-program bergengsi sampai tingkat
internasional hanya untuk mendapat piala juara lomba tingkat internasional agar
mitos sekolah favorit tetap berkibar dan pasar tetap tinggi. Para juara di
tingkat internasional pada kenyataannya tidak bisa menyelesaikan masalah
masyarakat yang suka membuang sampah di sungai atau melempar begitu saja
dipinggir jalan.
Betapa
bodohnya kita bertahun-tahun menggiring anak-anak untuk berlomba, dan
melahirkan juara-juara lomba diberbagai tingkat sampai internasional. Padahal
pendidikan bertujuan membekali semua anak agar bisa beradaftasi dengan
lingkungan di mana dia tinggal, mampu memecahkan dan mengelola potensi-potensi
alam, ekonomi, sosial, budaya, agama, yang ada dlingkungannya masing-masing.
Bertahun-tahun sekolah minim lahirkan lulusan-lulusan kreatif, berjiwa sosial
tinggi, mau terlibat selesaikan masalah masyarakat, selalu optimis dan berdaya pikir
unggul.
Kita
telah menjadi masyarakat lemah. Sampah-sampah yang bertumpuk dan berceceran setiap
hari di pinggir jalan, kita tidak mampu menyelesaikannya. Lalu bagaimana kita
bisa menyelesaikan masalah-masalah besar seperti menghadapi masa atau pasca pandemi
virus Corono, mengurangi pemanasan global, membuka lapangan kerja untuk
pengangguran, dan mensejahterakan masyarakat miskin?
Saatnya
mitos sekolah favorit kita hapus dari ingatan masyarakat dan kerajaannya kita
runtuhkan. Berharap PPDB kelak diberlakukan 100 persen zonasi. Ini abad 21,
“tidak ada anak yang bodoh!” Semua bergerak pemerintah, masyarakat, sekolah,
mendorong terwujudnya sekolah berkinerja unggul. Sekolah harus berkomitmen
melahirkan lulusan-lulusan berkarakter religius, suka bekerja sama, peduli
lingkungan alam dan sosial, dan selalu bergerak kreatif menyelesaikan masalah-masalah sekecil apapun
yang ada di lingkungan alam dan masyarakat.
Paradigma
semua sekolah unggul harus mulai disosialisasikan terutama kepada masyarakat
yang masih terbelenggu mitos sekolah favorit. Sebarkan jargon, “semua sekolah
sama, semua anak cerdas”. Penguasa jangan lagi kunjungi sekolah-sekolah, tetapi
beri arahan dan optimisme kepada semua, bergeraklah semua membangun sekolah
unggul dengan membangun kinerja unggul. Wallahu’alam.
Saya setuju dengan opini di atas bahwa kita harus meruntuhkan kerajaan mitos sekolah favorit. Menurut saya, selaku mantan palajar yang beberapa tahun lalu masih bersekolah di sekolah yang bukan termasuk favorit, bukan sekolah favorit yang akan merubah kita untuk menjadi manusia berguna, tapi para pendidik dan diri kita sendiri. Percuma saja jika sekolah di tempat favorit tapi tetap saja tidak ada yang bisa merubah dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti halnya membuang sampah sembarangan. Ini adalah salah satu hal sepele yang harus dibenahi mulai dari sekolah dengan cara membiasakannya. Di kehidupan bermasyarakat nanti bukan kecerdasan otak saja yang bisa diandalkan untuk menjalani hidup, yang paling penting adalah kecerdasan bersosial.
ReplyDeletemantap
ReplyDelete