Thursday, August 20, 2020

WE ARE A TEAM PLAYER PEOPLE

 OLEH: TOTO SUHARYA
(Kepala SMAN 2 Padalarang, Sekretaris I AKSI)

“We are not a team player. We are the single player” (Tanri Abeng). Orang Indonesia sebagai mana kita ketahui banyak yang unggul sebagai personal tetapi jarang yang kuat sebagai tim. Dalam olah raga, pemain kita lembek dalam cabang yang melibatkan lebih dari dua orang. Bola basket, sepak bola, voli, nyaris tak punya prestasi dunia. Berbeda dengan panahan, tinju, bulutangkis, atau bridge. (Wahyuningsih, 2018, hlm. 11).  

Faktor-faktor penyebab kita tidak bisa bekerjasama dalam tim, dilatarbelakangi oleh kelemahan-kelemahan prilaku yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Menurut Muchtar Lubis (1978) salah satu kelemahan prilaku bangsa Indonesia adalah sikap feodal. Masyarakat feodal tidak mengenal kerjasama, mereka mementingkan kebesaran dan kebahagiaan pribadinya. Jiwa ingin menaklukkan, mengalahkan, merendahkan, dalam masyarakat feodal sangat kental. Masyarakat dengan mental feodal tidak tumbuh dengan saling membesarkan tetapi dengan saling menjatuhkan. Sinisme dan nyinyir terhadap keberhasilan menjadi sikap yang sering muncul ketika melihat keberhasilan orang lain.

Pada masyarakat feodal, sikap hormat dan menghargai pemimpin sangat rendah. Penghormatan pada pemimpin dilandasi karena rasa takut, kepentingan, dan kolegial. Sikap mental ini mejadi penghambat kemajuan bangsa. Visinya tidak pernah bisa dipersatukan, kehidupan berjalan masing-masing berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Faktor lain yang menghambat prilaku bangsa Indonesia tidak bisa bekerjasama adalah mentalitas meremehkan mutu. Kontjaraningrat (1974) menjelaskan salah satu kelemahan prilaku bangsa Indonesia adalah kurang menghargai mutu. Keunggulan-keungulan individu dalam berbagai bidang kurang mendapat tempat di masyarakat Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan lebih banyak berkarir dan dimanfaatkan oleh negara-negara luar. Karya-karya inovasi orang Indonesia lebih berhasil diterapkan di luar negeri. Penemu kapal selam, radar tercanggih adalah orang Indonesia yang berkarir di luar negeri.

Menurut Carol S. Dweck (2020) mentalitas feodal dan kurang menghargai mutu bisa tergolong pada kategori mentalitas fixed mindset. Mentalitas bangsa seperti ini akan sangat sulit beradaftasi dengan kondisi zaman saat ini. Orang Indonesia menjadi bangsa yang sangat takut gagal, dan selalu fokus pada keberhasilan tanpa memerdulikan proses alami yang harus dilalui. Program-program terobosan untuk meningkatkan daya saing, selalu gagal di tengah jalan karena keengganan menghadapi kegagalan. Program inovasi pembangunan dalam berbagai bidang selalu gagal atau layu sebelum berkembang, karena mentalitas kurang menghargai. 

Atas dasar itu, esensi pendidikan di Indonesia adalah membangun mental masyarakat Indonesia agar mampu bekerjasama dalam membangun bangsa. Pendidikan harus memberikan bimbingan, pelatihan, dan pengajaran bagaimana membangun sebuah bangsa dalam kerangka kebersamaan. Sifat-sifat feodal yang egoistik harus dikikis dalam proses pendidikan melalui pendidikan agama yang mendorong setiap orang untuk menjadi pribadi-pribadi taat pada pemimpin dalam tataran hidup bernegara.

Para peserta didik harus dilatih dan banyak praktek dalam kegiatan-kegiatan kerjasama dalam sebuah tim.  Syarat bagi para peserta didik agar bisa bekerjasama dalam tim adalah melatih mereka untuk menghormati keputusan-keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Para peserta didik harus dilatih menghargai dan memberi kesempatan kepada pemimpin untuk melakukan inovasi dengan cara memberi ruang kepada pemimpin untuk melaksanakan kebijakannya dengan dukungan penuh kebersamaan. Kegagalan seorang pemimpin adalah proses yang harus dilalui seorang pemimpin dimanapun adanya. Peserta didik harus dibiasakan menyikapi kegagalan sebagai hal wajar dan tidak menganggap kegagalan sebagai ketidakmampuan seorang pemimpin belaka.

Untuk mengikis jiwa-jiwa feodal dengan egoisme tinggi, para peserta didik harus diajak untuk melakukan proyek-proyek pendidikan yang berdampak dan bermanfaat pada lingkungan sekitar di mana mereka tinggal. Para peserta didik juga harus banyak diapresiasi oleh guru-guru dalam berbagai bentuk atas karya-karya mereka sekecil apapun. Pendidikan semacam ini akan menyadarkan mereka untuk menghargai karya-karya orang lain sekecil apapun di masyarakat kelak.

Dunia pendidikan harus penuh dengan apresiasi bukan dengan teguran dan celaan. Hal yang harus disepakati oleh para pendidik adalah para peserta didik adalah makhluk-makhluk cerdas. Mereka punya kecerdasan di kelasnya masing-masing dan para pendidik harus bisa mengungkapnya, kemudian mengapresiasi agar kecerdasan yang mereka miliki terus tumbuh sampai mereka menyadarinya dan memiliki kepercayaan diri. Dengan demikian kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mampu bekerjasama dalam tim. Insya Allah bangsa kita yang religius bisa tumbuh menjadi “we are a team player, not a single player”.  Wallahu’alam.   

No comments:

Post a Comment

MENGAPA GURU HARUS TERHORMAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Untuk menghormati guru, di Jepang tidak ada hari guru. Kisah ini dibagikan oleh Pak Susila dari Banten ...