OLEH: TOTO SUHARYA
(Kepala SMAN 2 Padalarang, Sekretaris I AKSI)
“We are not a team
player. We are the single player” (Tanri Abeng). Orang
Indonesia sebagai mana kita ketahui banyak yang unggul sebagai personal tetapi jarang
yang kuat sebagai tim. Dalam olah raga, pemain kita lembek dalam cabang yang
melibatkan lebih dari dua orang. Bola basket, sepak bola, voli, nyaris tak
punya prestasi dunia. Berbeda dengan panahan, tinju, bulutangkis, atau bridge.
(Wahyuningsih, 2018, hlm. 11).
Faktor-faktor penyebab
kita tidak bisa bekerjasama dalam tim, dilatarbelakangi oleh
kelemahan-kelemahan prilaku yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Menurut
Muchtar Lubis (1978) salah satu kelemahan prilaku bangsa Indonesia adalah sikap
feodal. Masyarakat feodal tidak mengenal kerjasama, mereka mementingkan
kebesaran dan kebahagiaan pribadinya. Jiwa ingin menaklukkan, mengalahkan,
merendahkan, dalam masyarakat feodal sangat kental. Masyarakat dengan mental
feodal tidak tumbuh dengan saling membesarkan tetapi dengan saling menjatuhkan.
Sinisme dan nyinyir terhadap keberhasilan menjadi sikap yang sering muncul
ketika melihat keberhasilan orang lain.
Pada masyarakat feodal,
sikap hormat dan menghargai pemimpin sangat rendah. Penghormatan pada pemimpin
dilandasi karena rasa takut, kepentingan, dan kolegial. Sikap mental ini mejadi
penghambat kemajuan bangsa. Visinya tidak pernah bisa dipersatukan, kehidupan
berjalan masing-masing berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Faktor lain yang menghambat
prilaku bangsa Indonesia tidak bisa bekerjasama adalah mentalitas meremehkan
mutu. Kontjaraningrat (1974) menjelaskan salah satu kelemahan prilaku bangsa
Indonesia adalah kurang menghargai mutu. Keunggulan-keungulan individu dalam
berbagai bidang kurang mendapat tempat di masyarakat Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan
lebih banyak berkarir dan dimanfaatkan oleh negara-negara luar. Karya-karya
inovasi orang Indonesia lebih berhasil diterapkan di luar negeri. Penemu kapal
selam, radar tercanggih adalah orang Indonesia yang berkarir di luar negeri.
Menurut Carol S. Dweck
(2020) mentalitas feodal dan kurang menghargai mutu bisa tergolong pada
kategori mentalitas fixed mindset. Mentalitas bangsa seperti ini akan
sangat sulit beradaftasi dengan kondisi zaman saat ini. Orang Indonesia menjadi
bangsa yang sangat takut gagal, dan selalu fokus pada keberhasilan tanpa
memerdulikan proses alami yang harus dilalui. Program-program terobosan untuk
meningkatkan daya saing, selalu gagal di tengah jalan karena keengganan
menghadapi kegagalan. Program inovasi pembangunan dalam berbagai bidang selalu
gagal atau layu sebelum berkembang, karena mentalitas kurang menghargai.
Atas dasar itu, esensi
pendidikan di Indonesia adalah membangun mental masyarakat Indonesia agar mampu
bekerjasama dalam membangun bangsa. Pendidikan harus memberikan bimbingan,
pelatihan, dan pengajaran bagaimana membangun sebuah bangsa dalam kerangka
kebersamaan. Sifat-sifat feodal yang egoistik harus dikikis dalam proses
pendidikan melalui pendidikan agama yang mendorong setiap orang untuk menjadi
pribadi-pribadi taat pada pemimpin dalam tataran hidup bernegara.
Para peserta didik harus
dilatih dan banyak praktek dalam kegiatan-kegiatan kerjasama dalam sebuah tim. Syarat bagi para peserta didik agar bisa
bekerjasama dalam tim adalah melatih mereka untuk menghormati keputusan-keputusan
yang dilakukan oleh pemimpin. Para peserta didik harus dilatih menghargai dan
memberi kesempatan kepada pemimpin untuk melakukan inovasi dengan cara memberi
ruang kepada pemimpin untuk melaksanakan kebijakannya dengan dukungan penuh
kebersamaan. Kegagalan seorang pemimpin adalah proses yang harus dilalui
seorang pemimpin dimanapun adanya. Peserta didik harus dibiasakan menyikapi
kegagalan sebagai hal wajar dan tidak menganggap kegagalan sebagai
ketidakmampuan seorang pemimpin belaka.
Untuk mengikis jiwa-jiwa
feodal dengan egoisme tinggi, para peserta didik harus diajak untuk melakukan
proyek-proyek pendidikan yang berdampak dan bermanfaat pada lingkungan sekitar
di mana mereka tinggal. Para peserta didik juga harus banyak diapresiasi oleh
guru-guru dalam berbagai bentuk atas karya-karya mereka sekecil apapun.
Pendidikan semacam ini akan menyadarkan mereka untuk menghargai karya-karya
orang lain sekecil apapun di masyarakat kelak.
Dunia pendidikan harus
penuh dengan apresiasi bukan dengan teguran dan celaan. Hal yang harus
disepakati oleh para pendidik adalah para peserta didik adalah makhluk-makhluk
cerdas. Mereka punya kecerdasan di kelasnya masing-masing dan para pendidik
harus bisa mengungkapnya, kemudian mengapresiasi agar kecerdasan yang mereka
miliki terus tumbuh sampai mereka menyadarinya dan memiliki kepercayaan diri. Dengan
demikian kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mampu
bekerjasama dalam tim. Insya Allah bangsa kita yang religius bisa tumbuh
menjadi “we are a team player, not a single player”. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment