OLEH: TOTO SUHARYA
Berbagai sudut pandang
filsafat dan teori tentang pendidikan dikemukakan para ahli dari berbagai latar
belakang bangsa, negara, suku, dan agama. Saya tidak tahu mana yang harus
dijadikan rujukan untuk mendidik manusia. Setiap pemikiran tidak pernah
komprehensif memberikan pandangan bagaimana seharusnya manusia diberi
pendidikan.
“Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, bantahlah mereka dengan
cara yang baik” (Al Nahl, 16:125).
Tugas Nabi Muhammad saw dari
Allah adalah menyempurnakan akhlak. Inilah inti pendidikan manusia
sesungguhnya. Berbagai bidang profesi yang bisa digeluti manusia pada intinya
mereka harus punya akhlak yang baik dalam menjalani tugas profesinya.
Untuk membentuk akhlak yang
baik di dalam Al-Qur’an Tuhan memberi pedoman berdasarkan proses penciptaannya manusia
terdiri dari tiga unsur yaitu basyar, insan, dan annas. Basyar
adalah makhluk spiritual, insan makhluk invidual, dan annas makhluk sosial. Murid-murid
sebagai manusia utuh untuk pertama kali harus diperkenalkan siapa Tuhan yang
menciptakannya dan apa tujuan Tuhan menciptakannya. Selanjutnya murid-murid
difasilitasi untuk mengenal segala potensi yang ada pada dirinya. Sebagai individu
murid-murid harus difasilitasi untuk menjadi pribadi-pribadi yang punya kompetensi
agar bisa menjaga kehormatan dirinya. Setelah menjadi pribadi yang kompeten, murid-murid
harus dilatih kesadarannya untuk menjadi makhluk sosial dengan menjadi manusia
bermanfaat untuk manusia lainnya.
Ketiga unsur pendidikan manusia sebagai makhluk basyar (spiritual), insan (individu), dan annas (sosial), tidak lepas dari konteks sebagai manusia spiritual yang melakukan segala aktivitasnya sebagai bagian dari ketundukkan dan kepatuhan kepada Tuhannya. “seutama-utama manusia adalah mukmin yang berilmu yang apabila diperlukan, ia berguna. Kalaupun tidak diperlukan, ia dapat mengurusi dirinya”. (Hadis).
Akal adalah sumber ilmu. Sabda
Rasulullah Saw yang menegaskan kemuliaannya, “Yang pertama kali diciptakan
adalah akal. Allah berfirman kepadanya, “Menghadaplah! Maka ia menghadap.
Kemudian dia berpfirman kepadanya, Mundurlah! Maka ia mundur. Dia berfirman,
Demi keagungan dan kebesaran Ku Aku tidak menciptakan makhluk lebih mulia bagi
Ku dari padamu. Dengan mu Aku mengambil, dengan mu Aku memberi, dengan mu Aku
memberi pahala, dan dengan mu aku memberi hukuman”. (Al-Ghazali, 2016, hlm.40)
Kemulaiaan manusia terletak
pada akalnya. Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “aku bertanya kepada
Jibril, apakah kepemimpinan itu? Jibril menjawab, Akal”. Manusia kelak akan
diadili oleh Tuhan adalah akalnya. (Al-Ghazali, 2016, hlm.40)
Pendidikan untuk manusia agar
menghidupkannya sebagai makhluk basyar, insan, dan annas, terletak pada
akalnya. Mengajari akalnya dengan berbagai ilmu, cara berpikir (berlogika) yang
baik, dan berbicara yang baik agar mereka hidup di jalan Tuhan.
Hamka (2018, hlm. 44) menjelaskan
sebuah hadis, “Tiadalah sempurna akal manusia selama-lamanya, sebelum
sempurna akalnya. Agama manusia ialah akalnya, dan siapa yang tiada berakal
tiadalah agama baginya”.
Begitu utmanya akal dalam
keberagamaan manusia. Menurut riwayat Anas pernah dipuji-puji orang seorang
sahabat dekat Rasulullah, dipuji ibadahnya, dipuji perangainya, dipuji
keimanannya, adabnya dan sopannya. Tetapi Rasulullah Saw. Tiada memperdulikan
pujian-pujian itu, hanya beliau bertanya, “bagaimanakah akalnya?” Mereka balik
bertanya, “Bagaimana ya Rasulullah? Kami sebut segala macam kelebihannya,
tetapi Rasulullah tanyai juga akalnya.” Maka Beliau bersabda “sesungguhnya
orang yang ahmak (bodoh) tetapi rajin beribadah telah tertimpa bahaya lantaran bodohnya,
lebih besar dari ada bahaya yang menimpa lantaran kejahatan orang yang durjana.
Yang mengangkat manusia kepada derajat dekat kepada Tuhan ialah menurut kadar
akal mereka jua”. (Hamka, 2018, hlm, 41).
Al khalil Ibn Ahmad berkata,
Manusia itu ada empat: pertama, yang tahu dan tahu bahwa ia tahu. Ia adalah
alim, maka ikutilah. Kedua, yang tahu tetapi ia tidak tahu bahwa ia
tahu. Ia adalah orang yang tertidur, maka bangunkanlah. Ketiga, yang
tidak tahu, dan tahu bahwa ia tidak tahu. Ia adalah orang yang mencari
bimbingan, maka ajarilah. Keempat, yang tidak tahu, tetapi tidak tahu
bahwa ia tidak tahu. Ia adalah orang bodoh, maka waspadailah. (Al Ghazali,
2016, hlm. 38).
No comments:
Post a Comment