Oleh: Toto Suharya
(Kepala Sekolah, Sekretaris I DPP AKSI, KACI)
Sekolah harus menjadi tempat
yang paling membahagiakan bagi anak-anak. Sekolah harus menjadi tempat yang
menjanjikan kesejahteraan bagi anak-anak. Mereka yang masuk sekolah harus punya
keyakinan bahwa dengan masuk sekolah mereka bisa hidup lebih sejahtera. Dengan
keyakinan ini anak-anak akan merasa wellbeing (bahagia) dalam
melaksanakan seluruh aktivitas belajar di sekolah. Untuk mewujudkannya, Syawal
Gultom menjelaskan masalah dan apa yang harus dilakukan oleh sekolah.
Wellbeing Student
ditandai dengan sikap positivity (selalu positif, good mood) ditandi dengan
prilaku positif dan berbicara positif, resilience, self-optimissation, and
satisfaction. (Nobel dan McGrath, dalam Aris dan Djamhur, 2017, hlm.
769). Sikap positif tercermin dalam
hubungan sosial dengan semua kalangan antara lain guru, teman sebaya, komunitas
dan lingkungan keluarga. Resilience adalah kemampuan siswa dalam menghadapi
kesulitan dan mengembalikan kondisi menjadi positif berkelanjutan. Self-optimisation
adalah kepercayaan diri yang dimiliki anak terhadap kemampuan dirinya ditandai
dengan kepemilikan growt mindset. Satisfaction berkaitan dengan kepuasaan anak
terhadap proses pembelajaran yang dirasanya bermanfaat dan relevan dengan
kebutuhan untuk menjalani hidup di masyarakat.
Pertama anak-anak harus
diajari untuk punya kemandirian, selalu berpikir positif, tidak pernah
mencurigai orang lain. Anak-anak diajari jangan pernah bersikap negatif pada
orang. Untuk mengajarkannya harus didukung oleh kepala sekolah yang harus paham
pendidikan Indonesia. Paham tentang keprofesionalan guru. Paham kondisi
pembelajaran dan paham kondisi lulusan pendidikan indonesia.
Selanjutnya menurut Gultom, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh level berpikir generasinya. Pembelajaran di kelas harus mengajarkan kemampuan berpikir tinggkat tinggi, kepedulian, dan mampu menyelesaikan masalah yang ada pada diri dan lingkungannya. Sebagai contoh pada masa pandemi Covid-19 anak-anak harus diajak beradaftasi dengan pradigma baru tentang kesehatan. Masa covid 19 telah merubah cara hidup sehat bukan dengan obat-obatan. Kesehatan adalah mempertahankan daya tahan tubuh secara alami dengan membiasakan prilaku dan pola hidup sehat, dan masa obat-obatan sudah berlalu.
Hal seperti di atas bisa
diajarkan oleh sekolah yang dimpimpin kepala sekolah yang mengajarkan
keteladanan tentang personal value, leading teaching, leading
innovation and change, and leading the management of school. Kepala
sekolah harus bisa meyakinan bahwa orang datang ke sekolah untuk jadi
pembelajaran yang sukses. Kepala sekolah harus menjamin ketersediaan guru yang
tangguh yaitu guru dengan jiwa pembelajar. Guru yang tangguh memiliki komitmen
pada nilai hidup bahwa setinggi-tinggi derajat manusia adalah mereka yang
memiliki kontribusi kepada orang dan alam. Guru yang memesona adalah guru yang
sepenuh jiwa mengabdikan dirinya untuk melayani dan mengembangkan seluruh
potensi anak-anak.
Pendidikan juga harus relevan
ketika berbicara soal kesejahteraan. Jumlah 24,9 juta orang miskin di indonesia
sangat tidak mungkin terjadi jika dibandingkan dengan sumberdaya alam yang
dimiliki bangsa Indonesia. Masyarakat miskin mereka berpenghasilan Rp. 15.000
per hari. Padahal seluruh jenis kekayaan alam yang ada di muka bumi semuanya
ada di Indonesia.
Kita perlu melakukan lompatan
besar dalam mengelola pendidikan. Pendidikan adalah hidup itu sendiri (John
Dewey). Kita harus akui bahwa selama ini guru-guru kita tidak memiliki
kepatuhan pada jadwal belajar karena hadir ke kelas terlambat. Jika hadir tepat
waktu kita belum mengajarkan materi yang relevan dibutuhkan anak-anak. Kita
juga masih bermasalah dalam hal pendalaman materi dan guru belum sepenuh hati
menjadi pengajar.
Konsep pendidikan di negara
lain dengan negara kita tidak jauh berbeda. Masalahnya adalah kejujuran kita
sebagai guru perlu ditingkatkan. Di Finlandia, guru diberi tujuan negara. Guru
bisa mewujudkannya di kelas. Kita kadang-kadang mengajarkan sesuatu yang tidak
sebagaimana ditugaskan oleh negara. Di jepang, RPP sudah ada di hati, pikiran,
dan tindakan guru. Kita masih berkutat dengan RPP dalam bentuk adminsitrasi
fisik.
Tentang kompetensi berpikir
tingkat tinggi, Gultom mengatakan 70% guru kita telah mengetahuinya, namun yang
paham hanya 40%, yang menerapkan 20% dan guru yang mengajarkan berpikir tingkat
tinggi kepada anak-anak hanya 5%. Dari skala 0-10, guru-guru yang mengajarkan
kreativitas kepada anak-anak, guru-guru kita hanya ada di skala 2,87. Dalam
kondisi ini anak-anak tidak diajari berpikir sampai pada level 6 (create).
Selanjutnya Gultom mebeberkan
fakta, sejak 2005 hasil program sertifikasi
hanya 10 persen guru yang berubah prilaku kerjanya. Sertifikasi guru
belum menemukan inti tujuan sertifikasi. Ternyata yang hebat pendidikan itu
soal kejujuran. Konsep kita tidak kalah baik dengan negara lain. Kejujuran
diawali dari guru yang harus mau melakukan perubahan ke arah wellbeing hingga
membudaya di sekolah. Perubahan mulai dari persepsi cara berpikir positif dan
prilaku dari seorang guru. Guru yang terbaik yang punya tanggung jawab untuk
berubah. Darwin mengatakan manusia terbaik adalah mereka yang mampu beradftasi
dengan lingkungan.
No comments:
Post a Comment