OLEH: TOTO SUHARYA
Memperhatikan pekerja bangunan, sejak kecil saya telah
mengenal mereka. Hidup dari kalangan ekonomi lemah dan lingkungan pendidikan
rendah. Dia juga tidak melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang menengah,
pendidikannya terputus mungkin karena ekonomi atau karena pendidikan orang tua
yang tidak sadar bahwa pendidikan dapat mengubah nasib anaknya.
Kini setelah berkeluarga, punya anak, kontrak rumah, saya
perhatikan anak yang dulu saya anggap tidak akan punya nasib baik, kini dengan tangkas
dia mampu memasang keramik lantai dengan rapi. Mesin pemotong keramik dia
gunakan dengan ahli, potongan-potongan terlihat rapi dan lubang-lubang kecil
yang harus dibuat dipermukaan keramik dia buat dengan bulatan sempurna. Saya
tidak habis pikir dari mana kemampuan teknis seperti itu dia miliki. Dia tidak sekolah dan tidak ada sekolah khusus
untuk berlatih memotong keramik, pasang bata, meratakan tembokan dan mengukur lekukan dengan akurat.
Tukang bangunan bercerita bahwa dia menjalani menjadi tukang bangunan berjalan 6 tahun, sebelumnya selama lima tahun menjadi asisten tukang bangunan.
Jika demikian, selam lima tahun asisten bangunan itu belajar untuk menjadi
tukang bangunan. Bagaimana metode
belajar asisten bangunan sampai menjadi tukang? Pembelajaran diawali dengan berani,
mencoba dan terus praktek. Keberanian mencoba meniru apa yang dipraktekkan
tukang, dilakukan saat waktu luang, atau jika ada sisa-sisa bahan bangunan yang
belum terpasang. Waktu-waktu luang ini digunakan untuk praktek menjadi tukang
bangunan, diawali dengan KERANIAN.
Tukang bangunan tidak memiliki sertifikat atau ijazah. Mereka menjadi tukang bangunan karena pengakuan dari teman sesama tukang, dan kepuasan pengguna jasa tukang bangunan. Hasil belajar dengan modal keberanian, memanfaatkan bahan sisa, waktu luang, adalah metode yang digunakan turun-temurun oleh tukang bangunan hingga keahlian ini tetap ada sekalipun tidak ada lembaga formal yang mengkondisikannya sebagai program belajar.
Anomali terjadi ketika anak-anak lulusan sekolah bekerja tanpa
ketermpilan, sementara pekerja bangunan tanpa pengakuan lulusan pendidikan
bekerja benar-benar mengandalkan skill yang dia miliki. Apa yang salah dengan
pendidikan formal? Kemungkinan besar tidak melatih keberanian, kurang banyak mencoba, cenderung banyak bicara, dan materi pelajaran sangat tergantung pada buku
teks yang secara substansial tidak membangun “keretampilan” sebagai modal ketika
siswa lulus dan harus bekerja.
Jika dibandingkan dengan kebermanfaatan untuk hidup, belajar
dengan cara yang dilakukan seperti tukang bangunan, pendidikan lebih
efektif dan mensejahterakan. Sebaliknya hasil pendidikan formal kadang mengkerdilkan
manusia dengan meremehkan kemampuan seseorang hanya karena sekedar tidak
memiliki selembar kertas bergelar. Bahkan tidak sedikit terjadi karena selembar
kertas bergelar, manusia menjadi terhormat dihadapan manusia dan rendah
dihadapan Tuhan. Manusia terhormat dihadapan manusia tidak mau terhina dihadapan
manusia, dan rela menjadi tuna kerja demi kehormatan ijazahnya. Pendidikan
formal kadang melahirkan manusia-manusia lemah yang tidak mau berjuang dari
bawah. Generasi formal telah bergeser menjadi penyembah kertas, tinggi
rendahnya kualitas pekerjaan diukur dari penampilan. Dia rela berpenampilan
kelas atas sekalipun penghasilannya kelas bawah. Generasi formal tidak percaya
bahwa kualitas terbaik diawali dengan menghidupi diri sendiri dan menghidupi
orang lain.
Berbading terbalik dengan tukang bangunan selama belajar sambil bekerja kualitas dirinya terus teruji, sebaliknya generasi formal semakin lama belajar kualitas
dirinya semakin menurun. Generasi formal pendidikannya berakhir setelah wisuda,
tukang bangunan tidak akan pernah ada wisuda karena selama hidupnya dia terus
belajar.
Belajar dari fakta yang terjadi pada tukang bangunan,
pendidikan formal harus berani berubah. Pendidikan formal bukan lagi
mengajarkan tentang pengetahuan yang harus diketahuinya, tetapi kemampuan yang
harus dikuasainya. Pembelajaran harus mengarah pada keterampilan apa yang harus
dikuasai sesuai dengan kondisi dan kenyataan hidup yang ada di lapangan.
Keterampilan-keterampilan hidup dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dimana siswa tinggal dan masalah mendesak apa yang harus diselesaikannya. Mereka membutuhkan
banyak keterampilan mulai dari bernalar mengolah pikiran, mengendalikan emosi, menjalin
hubungan baik dengan Tuhan dan memanfaatkan alat-alat hidup atau teknologi untuk
membantu menyelesaikan masalah hidupnya.
ayah saya adalah seorang tukang bangunan dan saya bangga padanya. apalagi setelah membaca tulisan yang bapak tulis di sini. Sayangnya, saya tidak mewarisi kemampuan seperti bapak saya karena saya memiliki perbedaan keinginan yang ingin saya lakukan.
ReplyDeletePendidikan di Indonesia kebanyakan materi, minim sekali praktik. Pendidikan sekolah hanya belajar dan mengajarkan tentang yang ada di kurikulum saja. Padahal yang harus diajarkan sebenarnya adalah cara untuk menjalani kehidupan nanti setelah lulus sekolah. saat menjadi manusia yang sebenarnya.
Ayah yang hebat dan pembelajar
ReplyDelete