Oleh: TOTO SUHARYA
Ketika sekolah tanpa
hukuman bagaimana dengan pelangaran-pelanggaran yang dilakukan peserta didik? Apakah
mau kita biarkan atau diserahkan kembali kepada orang tua? Menarik kita
diskusikan bagaimana paradigma pengelolaan pendidikan di abad 21 ini yang
paradigmanya sudah mengalami perubahan. Sebelum kita bahas tentang sekolah
tanpa hukuman, kita lihat dulu mengapa paradigma Sekolah Ramah Anak muncul baru-baru
ini? Jika kekerasan anak telah terjadi di sekolah, mengapa konsep sekolah ramah
anak muncul abad ini? Apakah dulu tidak terjadi kekerasan terhadap anak?
Sekolah Ramah Anak (SRA) muncul
akibat dari kebenciaan masyarakat dunia terhadap kekerasan. Bukan berarti masyarakat
dulu tidak benci kekerasan, namun di abad teknologi ini informasi-informasi
kekerasan bermunculan seolah-olah menteror rasa damai masyarakat. Melalui media
informasi kekerasan begitu cepat menyebar dan memengaruhi pola pikir dan emosi masyarakat. Bisa dibayangkan, jika kekerasan tersebar di media sosial menjadi kolektif memori masyarakat, dunia ini akan dipenuhi dengan emosi negatif dan akan memicu terjadinya
kekerasan demi kekerasan.
Fenomena Arab Spring adalah bukti kejadian bahwa
kekerasan dapat menyebar menyulut emosi masyarakat lintas negara, hingga menimbulkan
krisis politik di negara-negara Timur Tengah.
Untuk itulah, warga masyarakat dunia menganggap pentingnya
mengampanyekan prilaku-prilaku ramah dan anti kekerasan, untuk menjaga ketertiban
dan perdamaian dunia. Lembaga yang paling efektif untuk mengampanyekan dan
mensosialisasikan budaya ramah adalah di sekolah.
Salah satu wujud dari sekolah ramah anak adalah menampilkan model layanan pendidikan tanpa hukuman. Sebenarnya bukan tanpa hukuman, tetapi pendekatan dan gaya pemberian hukuman yang caranya harus diubah. Jika dulu sekolah memberlakukan hukuman seperti hakim menimpakan vonis pada terpidana, sekarang cara itu tidak akan efektif membuat peserta didik jera. Untuk itu dalam konsep sekolah ramah anak hukuman dilakukan dalam bentuk pembimbingan dengan cara memberikan teguran, nasihat, diskusi, memahami penyebab kasus, memberikan arahan tindakan, dan mengkolaborasikan solusi dengan melibatkan orang tua, terapis, psikolog dan lembaga terkait. Penekannya kita kembali kepada filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu memberi teladan, memotivasi, dan membimbingnya secara inten dan berkelanjutan.
Hukuman mengalami
perubahan bentuk berupa tindakan-tindakan yang dapat membawa inspirasi dan
edukasi kepada peserta didik sampai mereka bertemua dengan titik kesadaran. Paradigma
ini membawa konsekuensi pada sikap para tenaga pendidik untuk menjadi seseorang
yang memiliki kemampuan mengendalikan emosi tidak cepat bosan, pantang
menyerah, kreatif, dan berwawasan luas tentang berbagai pendekatan dalam
pembelajaran. Jika dulu pendidik harus memiliki kesabaran, paradgima sekarang
pendidik harus memiliki kemampuan sabar antara dua sampai tiga kali lipat,
bahkan tanpa batas.
Sekolah tanpa hukuman
bukan membiarkan penyimpangan terjadi tetapi menjadikan penyimpangan sebagai anugerah
ilmu pendidikan yang harus digali bagi para pendidik. Setiap penyimpangan dan
kegagalan yang terjadi pada peserta didik bukan kehendak peserta didik, tetapi
karena pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir, pola rasa, dan pola laku
peserta didik. Seluruh peserta didik terlahir dengan multi telenta. Pada pendidik
hanya membantu mereka untuk menemukan talenta-talenta yang mana yang dapat
membawa hidup mereka sejahtera di dunia.
No comments:
Post a Comment