OLEH: TOTO SUHARYA
Perubahan kurikulum memang sudah layak dilakukan. Konsep Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan sekarang sebagai tanda bahwa kurikulum harus berubah. Isi dari Kurikulum Merdeka, menurut hemat penulis terletak pada konten dan metode pembelajaran untuk para siswa di kelas.
Dari pengamatan penulis, esensi perubahan pada kurikulum merdeka sekarang ada mengubah cara pandang guru terhadap siswa. Paradigma lama, guru terlalu memandang berlebihan pada kecerdasan akademik sebagai akhir dari proses pendidikan. Sehingga hasil akhir dari evaluasi pendidikan adalah capaian nilai akademik. Nilai angka di raport, hasil ujian nasional, terlalu parsial memandang kecerdasan siswa hanya diukur dari hasil tes potensi akademik.
Pada paradigma lama sistem penerimaan siswa baru diklasifikasi berdasarkan nilai akademik. Sehingga terjadi homogenisasi sekolah berdasarkan nilai akademik rendah dan nilai akademik tinggi. Sekolah-sekolah favorit muncul berdasarkan keunggulan potensi akademik tinggi, dengan latar belakang yang sudah tersaring hanya potensi akademik tinggi. Siswa-siswa dengan potensi akademik tinggi, cenderung berlatar belakang ekonomi tinggi, dan latar belakang orang tua dengan berpendidikan.
Oleh karena itu terjadi klasifikasi sekolah berdasarkan kecerdasan akademik dan kelas ekonomi. Kondisi ini telah melahirkan perbedaan kualitas pendidikan di setiap daerah. Pelabelan sekolah favorit jumlahnya hanya sedikit dan sisanya dianggap sekolah-sekolah yang tidak berkualitas.
Dalam paradigma baru yang harus jadi kolektif memori pada guru sekarang adalah semua siswa dilahirkan cerdas. Kecerdasan siswa tidak sebatas kecerdasan akademik, tetapi berbagai kecerdasan yang sudah melekat dimiliki setiap siswa. Menurut filosofi Ki Hadjar Dewantara (1961) seluruh siswa sudah memiliki berbagai macam kecerdasan, mereka seperti kertas yang sudah ada tulisannya namun masih samar. Tugas para guru adalah menebalkan tulisan-tulisan yang ada pada siswa sesuai bakat dan minatnya.
Pada sistem penerimaan siswa pun, diberlakukan sistem zonasi yang tidak lagi memebda-bedakan siswa berdasarkan latar belakang kecerdasan, karena pada dasarnya semua siswa cerdas. Sekolah harus menerima berbagai latar belakang kecerdasan siswa, termasuk yang berkebutuhan khusus. Keberhasilan sekolah tidak lagi ditentukan oleh latar belakang kecerdasan siswa tetapi berdasar pada kecerdasan para guru dalam melatih dan mengembangkan bakat para siswa.
Pada pembelajaran dalam paradigma lama, guru-guru cenderung fokus pada konten materi yang terdapat dalam buku paket. Guru tidak memikirkan materi itu bermanfaat atau tidak bagi kehidupan siswa, targetnya adalah menyampaikan semua materi ajar yang ada dalam buku paket. Siswa dilatih kemampuan berpikir melalui materi ajar, tetapi kebermanfaatannya di dalam kehidupan sehari-hari materi tersebut tidak begitu berguna.
Pada pembelajaran paradigma baru, guru-guru tidak lagi dipasung oleh materi ajar dari buku paket. Berdasarkan pada kompetensi dasar atau capaian belajar yang ada dalam kurikulum guru bisa memanfaatkan berbagai macam sumber materi ajar, untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi ajar harus dianalisis sesuai dengan kebutuhan siswa dimana dia tinggal dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam filosofi Ki Hadjar Dewantara, materi harus esensian dan berguna bagi siswa dengan memperhatikan kodrat alam dan zaman.
Pendekatan dalam pembelajaran harus lebih banyak memperkenalkan siswa dengan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka (kontekstual). Materi ajar adalah bahan yang membantu memperjelas masalah, dan solusi bagi siswa untuk menyelesaikannya. Dalam paradigma baru, siswa mengerjakan soal matematika dengan rumus-rumus yang diperkenalkan pada siswa tidak lagi berlaku. Pengerjaan soal-soal matermati, harus dikemas dalam menyelesaikan sebuah permasalahan hidup yang dialami sehari-hari dan dibutuhkan oleh siswa dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Teori-teori ekonomi harus dikemas menjadi cara bernaral siswa dalam menyelesaikan masalah nyata dalam kehdiupan mereka. Cara berpikir ilmiah harus menjadi cara berpikir mereka untuk mengidentifikasi dan menemukan pemecahan masalahnya. Evaluasi pembelajaran tidak lagi monoton pada tes kognitif, tetapi memberi kesempatan kepada siswa untuk menguji berbagai macam kompetensi yang dimiliki oleh siswa.
Pedagogik kreatif harus menjadi acuan guru dalam mengembangkan sebuah perencanaan pembelajaran (Supriatna, 2020). Pedagogik kreatif menjadi kreativitas guru dalam mendiagnosis berbagai kecerdasan siswa, kemudian mengembangkan metode yang tepat dalam pembelajaran, dan mengukur dengan alat evaluasi yang mengukur kemampuan siswa sesuai bakat dan minatnya.
Jadi, Kurikulum Merdeka membawa angin segar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan transformasi mental agar terlahir manusia-manusia kreatif dan berdaya saing. Sesungguhnya tidak ada bangsa bodoh, kecuali mereka tidak diberi pendidikan sesuai dengan kodrat manusia. Dasgufta (2019) mengatakan kreatifitas adalah inti dari kisah sejarah hidup manusia sejak zaman para sejarah hingga sekarang. Manusia-manusia kreatif mampu beradaftasi dan memiliki kemampuan survival di segala zaman.***
Sumber:
Dasgupta, S. (2019) A Cognitive Historical Approach to Creativity. Routledge.
Dewatara
K.H. (1961) Bagian Pertama: Pendidikan. Percetakan Taman Siswa.
Supriatna, N. & Maulidah, N. (2020) Pedagogi Kreatif Menumbuhkan Kreativitas dalam Pembelajaran Sejarah dan IPS. Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment