Oleh: Toto Suharya
Tujuan pendidikan adalah membantu siswa mencapai kehidupan sejahtera dan bahagia (Ki Hadjar Dewantara). Pemikiran Ki Hadjar Dewantara jika ditelusuri sesungguhnya mengandung nilai-nilai Al Qur'an. Di dalam ayat-ayat Al Qur'an banyak kita temukan tujuan dari manusia diberi petunjuk oleh Allah melalui para utusan untuk mendapatkan keberuntungan dan kebahagian hidup.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (Ali Imran, 3:104)
Isi pendidikan konsep dasarnya adalah "menyeru pada kebajikan" dan "mencegah kemunkaran". Konsep kebajikan di dalam Al Qur'an dijelaskan bersamaan dengan "kerelaan hati" dan "berserah diri". Konsep ini dapat diteliti dalam surat Al Baqarah ayat 112 dan 158.
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al Baqarah, 2:112)
"Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." (Al Baqarah, 2:158).
Pendidikan adalah upaya sengaja agar peserta didik bisa berprilaku mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dalam Al Qur'an dengan berserah diri pada Allah dan dengan kerelaan hati.
Konsep general dari prilaku-prilaku nyata yang harus dilakukan dengan kerelaan hati dan berserah diri pada Allah dijelaskan dalam Al Qur'an.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Al Baqarah, 2:177).
Konsep kebijakan dijelaskan dalam Al Qur'an dalam dua dimensi yaitu spiritual (ruhaniah) dan faktual (lahiriah). Jelas sekali bahwa Al Qur'an memberi petunjuk pada manusia agar bisa hidup bahagia dan sejahtera secara lahiriah dan ruhaniah. Nabi Muhammad bersabda bahwa setiap ayat Al Qur'an punya "lahir dan batin". (Lings, 2022 hlm. 38)
Di dalam hadis dijelaskan, Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak (karakter). Dengan demikian pembentukkan akhlak memiliki dua dimensi yaitu ruhaniah dan lahiriah. Pendidikan dalam dimensi ruhaniah adalah melatih pola pikir peserta didik agar mau beriman kepada Allah, para utusan-Nya, dan kitab-kitab petunjuk-Nya.
Pada dimensi lahiriah pendidikan berisi perintah (menyuruh) peserta didik untuk berbuat baik dengan harta yang dimilikinya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan membebaskan manusia dari penindasan. Komitmen ini dilakukan dengan shalat, zakat, menepati janji, dan sabar.
Konsep-konsep pendidikan di atas tidak bersifat ekslusif untuk sekelompok umat tertentu, tetapi bersifat general untuk umat manusia. Konsep-konsep pendidikan dalam Al Qur'an dapat dikembangkan dalam muatan kurikulum dengan penjelasan konsep sesuai dengan bahasa dan budaya masyarakat dimana mereka tinggal.
Pendidikan yang membuat miskin selama ini diawali dari pendangkalan dari tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tertutupi oleh kegiatan-kegiatan lahiriah tanpa didukung oleh pembentukan karakter secara ruhaniah. Selama ini sifat-sifat ilahiah pendidikan untuk membentuk manusia-manusia rela dan berserah diri pada Allah dalam melakukan segala perbuatan terabaikan. Sifat ilahiah pendidikan tergeser, sehingga melahirkan manusia-manusia berkepentingan dan individualis dalam melakukan berbagai hal.
Dunia pendidikan jadi miskin, tidak melahirkan manusia-manusia penyejahtera bagi kehidupan masyarakat. Pendidikan karakter hanya dibentuk dalam bentuk pembiasaan, sementara ruhaniahnya kering dengan makna. Pembiasaan dalam pendidikan karkater dirasakan siswa seperti penjajahan, pemakasaan, dan tidak menarik minat.
Disadari saat ini kita berada di awal abad 21, dimana setiap awal abad dunia seperti melakukan refleksi. Konsep-konsep pendidikan yang dianggap mapan di abad sebelumnya, secara alamiah menuntut kita untuk melakukan refleksi, verifikasi, dan redefinisi. Hal ini merupakan gejala alamiah yang kerap terjadi dalam siklus seratus tahunan. Sebagaimana dalam sebuah Hadis Nabi Muhammad bersabda, "Tuhan akan mengutus kepada umat ini di awal setiap seratus tahun seseorang yang akan memperbarui agama-Nya untuk Nya. (HR. Thabrani). Wallahu'alam***
No comments:
Post a Comment