Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd.
Mengkhawatirkan sekali, masyarakat kita disinyalir telah mengalami penurunan kualitas intelektual. Dunia pendidikan semakin menghadapi masalah besar. Permasalahan yang dihadapi saat ini berakar dari framing kapitalis yang tersosialisasikan masif melalui media sosial.
Naluri setiap manusia adalah ingin hidup sejahtera dengan segala fasilitas lengkap. Flexing yang sengaja dan tidak sengaja dilakukan individu di masyarakat, telah banyak memengaruhi pola pikir sebagian masyarakat. Dunia pendidikan dihadapkan pada masalah pendanaan, kualitas layanan, budaya literasi dan disiplin rendah, serta kebingunan dalam mengantisifasi perubahan zaman di abad 21.
Fakta telah terjadi penurunan kualitas intelektual dialami masyarakat, teridentifikasi pada saat diskusi masalah pendanaan pendidikan. Masyarakat mengalami kebingunan dalam mendefinisikan "pungutan" dan "sumbangan". Perdebatan setiap tahun tak kunjung usai. Definisi-definisi yang berkembang dalam diskusi selalu mengarah pada niat sekolah harus gratis sementara kemampuan pemerintah terbatas.
Dalam perdebatan selalu terjadi tarik menarik antara definisi pungutan dan sumbangan. Pungutan adalah pengumpulan uang yang telah ditetapkan besarannya. Sumbangan adalah pengumpulan uang yang tidak ditentukan besarannya. Pungutan atau sumbangan harus ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan rapat orang tua siswa, dilengkapi dengan berita acara dan absen kehadiran peserta rapat. Fakta dilapangan sekalipun definisi telah di sepakati selalu terjadi perbedaan pendapat.
Permasalahan sesungguhnya bukan pada tidak bisa membedakan definisi pungutan dan sumbangan, tetapi pada perbedaan orientasi hidup masyarakat. Berdasarkan informasi dalam Musrenbang Provinsi Jawa Barat 2023, berdasar hasil survey, masyarakat Jawa Barat mendudukkan masalah ekonomi berada di nomor satu, sedangkan pendidikan tidak pernah jadi prioritas.
Itulah jawabannya, mengapa masalah sumbangan dan pungutan selalu jadi masalah? Karena membuat dan menjamin pendidikan berkualitas tidak jadi prioritas. Penurunan kualitas berpikir masyarakat mulai terjadi karena di memori masyarakat hanya tersimpan urusan cuan. Orientasi berpikir hanya pada ekonomi, memori masyarakat telah kembali lagi ke masa Orde Baru yang kurang peduli pada pendidikan.
Tidak kapok-kapoknya masyarakat kita nih. Pembangunan ekonomi yang telah dilakukan oleh Presiden Suharto selama 32 tahun runtuh dalam sekejap pada tahun 1998. Pelajaran dari kisah jatuhnya kekuasaan Presiden Suharto tahun 1998 adalah akibat rendahnya penghargaan masyarakat pada dunia pendidikan. Sekarang sudah kurang lebih 20 tahun, sejak reformasi pola pikir kita kembali pada era orde baru. Masyarakat tidak lagi memprioritaskan pendidikan, pembangunan Jawa Barat kembali mengutamakan ekonomi seperti zaman Orde Baru.
Ketika debat pendidikan, sepertinya kita semuanya telah nampak jadi bodoh, seolah-olah tidak bisa membedakan pungutan dan sumbangan. Setiap tahun utak-atik aturan hanya membedakan antara pungutan dan sumbangan. Padahal dunia pendidikan kita di awal abad 21 ini sedang mengalami krisis.
Pendidikan generasi bangsa kita di mata internasional, dinilai buruk. Literasi paling rendah, kemampuan nalar paling rendah, investasi saham di pasar modal masih rendah, jumlah rasio pengusaha dengan jumlah penduduk masih rendah, jumlah doktor dengan rasio penduduk masih rendah, tapi kita masih terus ribut urusan cuan. Jika kondisi ini terus berlanjut bangsa kita sedang mengalami ancaman penurunan kualitas intelektual.***
No comments:
Post a Comment