Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd.
Pada masanya kebijakan sekolah gratis mendapat sambutan masyarakat. Kini, situasi telah berubah, dunia persaingan sumber daya manusia bukan lagi level antar kota, daerah, tapi antar negara dan benua. Semua negara sedang melakukan tranformasi dunia pendidikannya. Berlomba-lomba melahirkan manusia-manusia unggul. Untuk melakukan transformasi pendidikan dibutuhkan anggaran besar. Alih-alih menambah anggaran pendidikan, sekolah gratis kini akan "menyengsrengsarakan...hehe" rakyat.
Saat ini, kebijakan sekolah gratis bukan lagi kebijakan politik yang pro rakyat dengan tujuan menjaga kualitas pendidikan. Sekolah gratis adalah kebijakan politik yang dipaksakan dengan dalih kepentingan rakyat, dan keuntungan besarnya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kebijakan sekolah gratis adalah kebijakan tirani yang berusaha mengorbankan generasi bangsa untuk tujuan politik sesaat dan kepentingan pribadi yang bernafsu kekuasaan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sekolah gratis berakibat pada diskusi-diskusi pendidikan tidak lagi peduli pada esensi pendidikan, tapi masalah-masalah remeh tentang perbedaan pungutan dan sumbangan. Sekolah gratis telah menimbulkan konflik masyarakat yang tidak berkesudahan seputar masalah pengelolaan dana pendidikan. Sekolah gratis telah memporakporandakan penataan, pemetaan, infrastruktur dan kualitas layanan pendidikan. Di tengah situasi krisis dunia pendidikan saat ini, sekolah gratis ikut memperparah situasi dengan menurunkan kadar kualitas perhatian masyarakat pada dunia pendidikan.
Kebijakan sekolah gratis telah menurunkan kualitas intelektual masyarakat yang hanya peduli pada masalah gratisnya dana pendidikan, seperti kualitas tidak menjadi tuntutan. Asal sekolah gratis kualitas peduli amat. Orang yang peduli pendidikan otaknya di kepala, dan orang yang kurang peduli pendidikan otaknya di perut. Perubahan zaman akibat perkembangan teknologi informasi hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang otaknya di kepala.
Sekolah gratis bukan kebijakan yang berdasarkan pada kajian akademis kepentingan pendidikan. Sebenarnya kebutuhan dana pendidikan per siswa per tahun, diakui para pengamat pendidikan tidak pernah dipenuhi dalam kebijakan sekolah gratis. Sekolah gratis adalah kebijakan politik untuk kepentingan murni politik dan mengorbankan kualitas pendidikan.
Di beberapa daerah, sekolah sekolah di tingkat dasar dan menengah dengan kebijakan sekolah gratis seperti merana tidak terawat. Ada sekolah kesulitan air bersih, wc-wc mengeluarkan bau wangi karena sumber air terbatas. Toilet-toilet sekelas hotel merana tidak terawat, tidak ada lagi yang mau membersihkan seperti layanan kebersihan toilet di mall. Sekolah seperti pabrik yang setiap hari hilir mudik karyawan sebatas isi daftar hadir kerjakan tugas rutin. Karyawan tidak punya kebebasan untuk melakukan inovasi dan perubahan. Dunia pendidikan sebentar lagi akan jadi kantor departemen.
Kegiatan-kegiatan harus dilakukan tanpa boleh melakukan makan dan minum. Guru-guru harus membiasakan puasa. Guru-guru harus menganggap setiap hari seperti bulan Ramadan. Di republik ini ada yang tidak suka kalau guru-guru sehat karena makan dan minumnya terpenuhi. Guru-guru yang kesejahteraannya sangat insidental harus menjadi ahli sufi atau Sang Budha yang sudah tidak butuh lagi makan dan minum.
Sekarang keadilan hanya ada di pengetahuan dan pikiran yang pernah dialaminya. Pengalaman, pengetahuan, dan pikiran orang lain salah. Semua harus tunduk pada sudut pandangnya. Seperti kata Fir'aun, "saya adalah tuhan yang maha tinggi". Sebentar lagi, kesombongannya akan melahirkan malapetaka dengan lahirnya manusia-manusia yang otaknya pindah ke perut.
Sekolah gratis adalah kebijakan yang memperkosa dunia pendidikan untuk bisa hidup dengan anggaran seadanya. Sekolah gratis adalah tirani kekuasaan atas nama demokrasi konstitusi. Demi menikmati langgengnya kedudukan dan kelanjutan karir di dunia politik, dunia pendidikan dipaksa harus hidup dalam dunia keterbatasan demi popularitas.
Satu-satunya keberhasilan dari kebijakan sekolah gratis adalah jumlah penduduk yang sekolah meningkat, dan jumlah penduduk yang berpikir menurun. Satu lagi, keberhasilan kebijakan sekolah gratis adalah meningkatknya kaum duafa dan menurunkan masyarakat agnia. Gotong royong hanya berlaku untuk mendukung kepentingan politik, sementara dalam dana pendidikan kita dilatih jadi manusia-manusia individualis.
Dunia pendidikan sedang menghadapi tantangan hebat. Pola perubahan zaman sedang terus bergerak akan menggeser angkot dan tukang ojeg pengkolan yang tidak mau berubah. Sekolah gratis harusnya untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi. Semoga kelak kita semua akan dimpin manusia-manusia yang otaknya di kepala. Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment